Rabu, 11 Mei 2016

Untukmu, Anak-anakku

Tentu kita masih ingat kisah Ashabul Kahfi, sekelompok tujuh pemuda yang meninggalkan kaumnya yang menyimpang dan memilih tunduk patuh kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Keteguhan iman mereka mengantarkan para pemuda tersebut ke dalam sebuah gua, dan tertidur di dalamnya selama 309 tahun, hingga masa kegelapan kaumnya berakhir.

Saking pentingnya peran pemuda dalam menegakkan tauhid, sampai-sampai Allah memberitahukan kisah tersebut kepada kita melalui Al-Quranul Kariim. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam juga memberi perhatian khusus kepada generasi muda.

Dari Abu Al ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu anhu, ia berkata: Pada suatu hari saya pernah berada di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjaga kamu. Jagalah Allah, niscaya kamu akan mendapati Dia di hadapanmu. Jika kamu minta, mintalah kepada Allah. Jika kamu minta tolong, mintalah tolong juga kepada Allah. Ketahuilah, sekiranya semua umat berkumpul untuk memberikan kepadamu sesuatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang sudah Allah tetapkan untuk dirimu. Sekiranya mereka pun berkumpul untuk melakukan sesuatu yang membahayakan kamu, niscaya tidak akan membahayakan kamu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena-pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.” (HR. Tirmidzi). (dari Syarh Hadits Ke-19 Arbain an Nawawiyyah)

Imam Syafi'i pernah bertutur, syubbanul yaum rijalul ghod. Pemuda hari ini adalah pemimpin di masa depan. Lebih lanjut, beliau juga menyatakan, pemuda distandardisasi dari kualitas ilmu dan ketakwaannya. Jika keduanya tidak melekat pada struktur kepribadiannya, ia tidak layak disebut pemuda.

Tauhid = Harga Mati

Pembaca yang budiman, baik ayat Allah, apa yang disampaikan Rasulullah, dan hikmah yang dituturkan Imam Syafi'i, ternyata, pemuda memiliki peran penting dalam kelangsungan sebuah kehidupan. Pemuda hari ini adalah pemimpin di masa depan. Untuk menjadi pemimpin yang mengayomi warganya kelak, maka diperlukan bekal sebagaimana sabda Rasulullah. Dan bekal yang paling utama adalah mentauhidkan Allah Ta'ala.

Mengapa? Karena tauhid, beriman sepenuhnya kepada Allah, adalah harga final. "… Barangsiapa yang mensekutukan Allah, maka Allah haramkan baginya surga, dan tempat tinggalnya adalah neraka…" (QS Al-Maidah (5) :72)

Dengan berbekal ketauhidan, misi seorang pemuda ketika dia menjadi pemimpin nantinya, tidak akan melenceng jauh dari hukum dan syariat yang ditentukan Allah dan Rasul-Nya. Maka Rasulullah dalam sabdanya meminta para pemuda untuk "menjaga Allah". Bagaimana cara menjaga Allah? Antara lain menjalankan perintahNya, dan menjauhi larangan-laranganNya. Termasuk, menegakkan shalat.

Kaum Muda, Berdakwahlah!

Namun rupanya, peran pemuda sebagai calon pemimpin di masa depan, tidak cukup berhenti dengan beriman kepada Allah, RasulNya, dan segala ketetapanNya. Seorang pemuda harus tampil di garda terdepan untuk berdakwah. Amar ma'ruf, nahi munkar.

Kita ingat sosok-sosok pemuda Muslim yang menorehkan tinta emas dalam perjalanan sejarah Islam. Ali bin Abi Thalib yang saat itu baru berumur 8 tahun, memiliki kecerdasan dan kepiawaian dalam strategi berperang serta menjadi khalifah pada usia muda. Kemudian Abdullah bin Mas’ud (14) yang kelak menjadi salah satu ahli tafsir terkemuka, Saad bin Abi Waqqash (17) yang kelak menjadi panglima perang yang menundukkan Persia, Jafar bin Abi Thalib (18), Zaid bin Haritsah (20), Utsman bin Affan (20), Mush’ab bin Umair (24), Umar bin Khatab (26), Abu Ubaidah Ibnul Jarah (27), dan Muhammad Al-Fatih (24) yang memelopori penaklukan Konstantinopel.

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS Ali-Imran (3): 110).

Jangan membebankan kewajiban dakwah hanya kepada para ulama. Tekunlah dalam mengkaji ilmu agama sedari kini. "Barangsiapa belum merasakan pahitnya belajar walau sebentar, Ia akan merasakan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya." Demikian Imam Syafi'i berpesan. Tularkanlah kebaikan kepada sesama, meski hanya sepenggal ayat.

Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ta’ala ‘anhu, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari).

Adakah batasan tentang siapa yang menyampaikan? Apakah ayat Allah dan hadits Rasulullah mengalamatkan kepada generasi yang sudah memasuki usia paruh baya? Tidak. Tidak ada perintah itu. Yang ada adalah perintah berdakwah untuk seluruh ummat Islam. Di manapun, siapapun, dan kapanpun.

Apa langkah awal untuk percaya diri dalam menyampaikan al-haq kepada masyarakat luas? Mulailah dari diri sendiri dan keluarga. Ibda' binafsika. Baru kemudian merambah ke pertemanan, dan akhirnya kepada masyarakat luas.

"Hai orang-orang mu'min, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu." (QS Muhammad (47) : 7).

Salam,

Irena Handono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.