Minggu, 02 Oktober 2016

Muharram, Momentum Ummat Islam Bangkit Hadapi Gempuran


Bismillahirrahmanirrahiim.

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Saudaraku, dalam beberapa hari belakangan, kita ummat Islam, tengah merasa resah atas begitu maraknya fitnah dan hujat yang bertubi-tubi mengampiri kita. Konspirasi itu nampak tersusun rapi, dan seolah benar-benar berusaha untuk mencuci otak ummat dengan satu tujuan: pendangkalan aqidah.

Akibatnya, banyak ummat merasa marah dengan “serangan” ini. Pembelaan terhadap Allah dan Rasul-Nya tergenapkan tanpa komando, seakan muncul dari relung-relung jiwa yang tergelap sekalipun dari diri manusia. Demonstrasi, aksi protes, hingga tiada dipungkiri berujung pula pada aksi-aksi anarkisme.

Mari kita telaah terlebih dahulu ayat Allah dalam QS An-Nahl: 125, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.

Saudaraku, Allah telah memerintahkan kita untuk menyeru umat manusia dengan hikmah yang baik: kita nyatakan yang haq adalah haq, dan yang batil adalah batil. Dan jika kita kaji salah satu sifat dari 99 Asma Allah adalah Al-Lathiif yang berarti Maha Lembut.

Sekarang, mari kita coba hubungkan ayat Allah dalam QS An-Nahl:125 dengan keMahaLembutan Allah. Dari sini kita dapat menarik simpulan bahwa Allah menghendaki kita untuk menyampaikan suatu kebenaran, atau meluruskan kesalahan dengan kelembutan, bukan dengan kekerasan.

Sebagaimana Allah Yang Maha Lembut memberi hidayah kepada ummatNya dengan proses yang lembut pula, jangan sampai apa yang diasumsikan sebagai pembelaan terhadap Islam, justru jauh keluar dari ajaran Islam.

Di sinilah, kita dihadapkan pada wujud bakti kita kepada Allah. Perlu diingat bahwa konspirasi fitnah dan hujat musuh-musuh Islam telah menjadi pelontar agar kita turut terjun dalam “permainan” mereka. Permainan yang disebut ghazwul fikr.

Dalam arena ini, satu hal yang perlu kita ingat bahwa permainan ini tidak akan pernah bisa kita selesaikan jika kita tidak memiliki alat yang tepat. Ibarat sepak bola dilengkapi dengan bola dan gawangnya, ghazwul fikr harus dilengkapi dengan ilmu dan aqidah yang kuat.

Intanshurullaha yanshurkum, wa yutsabbit aqdaamakum. Janji Allah telah begitu gamblang dalam QS Muhammad ayat 7. Pertolongan dan peneguhan derajat dari Allah menjadi “skor akhir” apabila kita mampu melibas lawan dalam permainan ghazwul fikr ini.

Subhanallah, lihatlah saudaraku, betapa mulianya perintah Allah kepada kita. Kita diperintah untuk mendakwahkan kebenaran tanpa pemaksaan, namun Allah janjikan kebaikan apabila kita mampu melakukannya. Ibarat mata uang, di satu sisi kita mampu berbakti pada Allah, dan di sisi yang lain janji Allah begitu nyata adanya.

Saudaraku, Allah telah mengingatkan, “Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran.” (QS. Al-Baqarah :109).

Inilah wanti-wanti yang harus kita pahami bersama. Dan kondisi ini menuntut perubahan yang begitu fundamental dalam diri ummat. Perubahan ini harus kita lakukan bersama. Sinergitas harus ditata dengan baik.

Firman Allah, “...Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri...” (QS Ar-Ra’d: 11).

Jika ditarik dari sudut pandang ghazwul fikr tadi, maka, bagaimana mungkin permainan ini dapat diselesaikan tanpa kita berusaha untuk membekali diri kita dengan ilmu sehingga kita mampu mengubah kekacauan ini? Ibda’ binafsik adalah fondasi utama, dan selanjutnya sebagaimana perintah Allah, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah...”(QS Ali-Imran:110)

Sehingga dari sinilah bakti kita kepada Allah dapat dimulai, dan mulai detik ini juga. Mengapa harus takut untuk berbakti kepada Allah lewat jalan dakwah, jika Nabi Ismail yang berusia kanak-kanak sudah begitu berserah atas ketetapan-Nya?

Hendaknya keikhlasan Nabi Ismail harus menjadi teladan bagi kita dalam mengarungi bahtera duniawi yang fana ini. Allah berfirman, “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS Muhammad:7).

Jadi, kapan lagi berbakti jika bukan mulai saat ini ? Wallahu waliy at taufiq.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

IRENA CENTER



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.