Kamis, 13 Oktober 2016
Hermeneutika Merusak Al-Quran
Oleh: Hj Irena Handono, Pakar Kristologi, Pendiri Irena Center.
Seorang Yahudi Jerman Paul Schmidt menulis sebuah buku dengan judul “Islam, The Power of Tomorrow” yang terbit pada 1936. Dalam buku tersebut ia mengatakan bahwa kehebatan Islam ada tiga, yakni “their faith”, “their wealth” dan “their vertility”.
Their Faith, ia menjelaskan bahwa keimanan umat Islam tergantung dari pada bukunya (Alquran). Their Wealth, ia mengatakan bahwa bumi yang didiami oleh Muslim sangatlah kaya, baik di atasnya maupun di bawahnya. Dan ia mengimbau agar tidak membiarkan Muslim mengolah sendiri kekayaan alamnya. Their Fertility, kesuburan umat Islam. Paul Schmidt mengatakan, “Hai Barat, suatu saat nanti di mana pun kalian menginjakkan kaki, kalian akan bertemu orang Islam.” Maka kemudian dibuatlah program kontrol kelahiran (Birth Control/Family Planning).
Hermeneutika
Salah satu cara menjauhkan Muslim dari Alquran adalah dengan penggunaan teori Hermeneutik. Apakah Hermeneutik? Hermeneutik adalah ilmu tafsir dalam Kristen. Ada beberapa metode tafsir dalam Kristen, yakni a. Exegese (mengungkap kebenaran berdasarkan bahasa asli, sehingga kebenaran akan muncul dengan sendirinya); b. Eisegese (merohanikan yang sudah rohani. Ide manusia yang didukung dengan ayat); dan c. Alegoris (merohanikan benda sebagai simbol yang memiliki arti).
Hermeneutika ini sebenarnya dibutuhkan untuk gereja bukan untuk Islam. Semua rohaniawan Kristen membutuhkan ilmu ini agar jelas, tidak salah dalam menyampaikan pesan Bibel. Dengan exegese ingin dicapai suatu kesimpulan bahwa yang benar adalah Bibel. Seseorang yang mempelajari metode exegese terhadap Bibel, orang tersebut tanpa sadar dibangun keyakinannya menjadi semakin kuat terhadap Bibel bahwa Bibel itulah yang benar. Sampai pada akhirnya mereka akan meyakini bahwa tidak ada lagi pewahyuan.
Dengan exegese itu ingin ditampilkan bahwa Bibel itu kitab suci yang tidak bercacat dan itu adalah kebenaran yang mutlak. Bibel dijadikan standar yang absolut. Ketika rohaniawan Kristen mempelajari exegese akan mempunyai pemikiran bahwa kitab selain Bibel adalah tidak benar.
Menyelamatkan Ayat-ayat Bibel
Sebagai contoh hermeneutika, ada dua buah surat yang satu ditulis pada tahun 1969 dan yang satunya ditulis pada tahun 1972. Secara eksplisit keduanya kalimatnya sama. Surat yang pertama ditulis, "Untuk yang terhormat Tante Girang". Surat yang kedua ditulis dengan redaksi yang sama, "Untuk yang terhormat Tante Girang". Ketika kita meminta pendapat pada orang, apakah makna kalimatnya sama? Maka pada umumnya orang akan berpikir negatif karena ditujukan kepada Tante Girang. Tapi ketika dipelajari dengan metode tafsir hermenuetik, akan dilihat sejarah perkembangan istilahnya, latar belakang penulisan. Ternyata surat itu ditulis pada tahun 1969 yang berbeda dengan tahun 1972. Pada tahun 1969 ketika itu istilah Tante Girang tidak bermakna negatif, tapi justru positif yang menggambarkan seorang Ibu yang bahagia yang walaupun tidak dikaruniai anak bertahun-tahun tetapi tetap bahagia dan bersyukur.
Namun selepas tahun 1972, makna istilah Tante Girang mengarah pada seorang perempuan yang tidak pernah puas dalam hal hubungan biologis. Nah ketika dalam Bibel ditemukan kalimat yang porno atau sadis, maka orang akan bilang "Oh itu pelecehan". Tapi ketika dicek dengan metode hermeneutik ternyata maknanya tidak seperti itu. Maka dengan hermeneutik orang akan digiring untuk meyakini bahwa Bibel itu tidak bercacat.
Mementahkan Hukum dalam Alquran
Kaum SEPILIS-JIL berkali-kali mempermasalahkan kalimat “Penafsiran Menyimpang” di sidang Mahkamah Konstitusi Penodaan Agama sebagai alasan agar Mahkamah Konstitusi mencabut UU No.1 PNPS th.1965. Menurut kaum SEPILIS-JIL negara tidak bisa membatasi sebuah 'penafsiran' atas sebuah nilai-nilai agama apalagi menentukan menyimpang atau tidak. Sementara informasi di luar yang beredar mengatakan bahwa ada proyek dari kalangan JIL untuk membuat tafsir baru atas Alquran dengan metode Hermeneutika.
Jika ilmu tafsir ini digunakan pada Alquran maka bukan mengokohkan ayat-ayat Alquran tapi justru malah akan membuat semua syariat-syariat yang terkandung dalam Alquran sebagai aturan-aturan yang tidak mengikat atau dengan kata lain, akan mementahkan Alquran sebagai hukum yang mengikat manusia. Maka sesungguhnya inilah niatan dari mereka untuk menjauhkan Muslim dari Alquran seperti yang disampaikan Paul Schmidt di atas.[]
Minggu, 02 Oktober 2016
Muharram, Momentum Ummat Islam Bangkit Hadapi Gempuran
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Saudaraku, dalam beberapa hari belakangan, kita ummat Islam, tengah merasa resah atas begitu maraknya fitnah dan hujat yang bertubi-tubi mengampiri kita. Konspirasi itu nampak tersusun rapi, dan seolah benar-benar berusaha untuk mencuci otak ummat dengan satu tujuan: pendangkalan aqidah.
Akibatnya, banyak ummat merasa marah dengan “serangan” ini. Pembelaan terhadap Allah dan Rasul-Nya tergenapkan tanpa komando, seakan muncul dari relung-relung jiwa yang tergelap sekalipun dari diri manusia. Demonstrasi, aksi protes, hingga tiada dipungkiri berujung pula pada aksi-aksi anarkisme.
Mari kita telaah terlebih dahulu ayat Allah dalam QS An-Nahl: 125, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Saudaraku, Allah telah memerintahkan kita untuk menyeru umat manusia dengan hikmah yang baik: kita nyatakan yang haq adalah haq, dan yang batil adalah batil. Dan jika kita kaji salah satu sifat dari 99 Asma Allah adalah Al-Lathiif yang berarti Maha Lembut.
Sekarang, mari kita coba hubungkan ayat Allah dalam QS An-Nahl:125 dengan keMahaLembutan Allah. Dari sini kita dapat menarik simpulan bahwa Allah menghendaki kita untuk menyampaikan suatu kebenaran, atau meluruskan kesalahan dengan kelembutan, bukan dengan kekerasan.
Sebagaimana Allah Yang Maha Lembut memberi hidayah kepada ummatNya dengan proses yang lembut pula, jangan sampai apa yang diasumsikan sebagai pembelaan terhadap Islam, justru jauh keluar dari ajaran Islam.
Di sinilah, kita dihadapkan pada wujud bakti kita kepada Allah. Perlu diingat bahwa konspirasi fitnah dan hujat musuh-musuh Islam telah menjadi pelontar agar kita turut terjun dalam “permainan” mereka. Permainan yang disebut ghazwul fikr.
Dalam arena ini, satu hal yang perlu kita ingat bahwa permainan ini tidak akan pernah bisa kita selesaikan jika kita tidak memiliki alat yang tepat. Ibarat sepak bola dilengkapi dengan bola dan gawangnya, ghazwul fikr harus dilengkapi dengan ilmu dan aqidah yang kuat.
Intanshurullaha yanshurkum, wa yutsabbit aqdaamakum. Janji Allah telah begitu gamblang dalam QS Muhammad ayat 7. Pertolongan dan peneguhan derajat dari Allah menjadi “skor akhir” apabila kita mampu melibas lawan dalam permainan ghazwul fikr ini.
Subhanallah, lihatlah saudaraku, betapa mulianya perintah Allah kepada kita. Kita diperintah untuk mendakwahkan kebenaran tanpa pemaksaan, namun Allah janjikan kebaikan apabila kita mampu melakukannya. Ibarat mata uang, di satu sisi kita mampu berbakti pada Allah, dan di sisi yang lain janji Allah begitu nyata adanya.
Saudaraku, Allah telah mengingatkan, “Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran.” (QS. Al-Baqarah :109).
Inilah wanti-wanti yang harus kita pahami bersama. Dan kondisi ini menuntut perubahan yang begitu fundamental dalam diri ummat. Perubahan ini harus kita lakukan bersama. Sinergitas harus ditata dengan baik.
Firman Allah, “...Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri...” (QS Ar-Ra’d: 11).
Jika ditarik dari sudut pandang ghazwul fikr tadi, maka, bagaimana mungkin permainan ini dapat diselesaikan tanpa kita berusaha untuk membekali diri kita dengan ilmu sehingga kita mampu mengubah kekacauan ini? Ibda’ binafsik adalah fondasi utama, dan selanjutnya sebagaimana perintah Allah, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah...”(QS Ali-Imran:110)
Sehingga dari sinilah bakti kita kepada Allah dapat dimulai, dan mulai detik ini juga. Mengapa harus takut untuk berbakti kepada Allah lewat jalan dakwah, jika Nabi Ismail yang berusia kanak-kanak sudah begitu berserah atas ketetapan-Nya?
Hendaknya keikhlasan Nabi Ismail harus menjadi teladan bagi kita dalam mengarungi bahtera duniawi yang fana ini. Allah berfirman, “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS Muhammad:7).
Jadi, kapan lagi berbakti jika bukan mulai saat ini ? Wallahu waliy at taufiq.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
IRENA CENTER